Sindrom Kekebalan Akut

Enter...

Enter...

Teknik pengambilan sampel :Multi Stage Sampling

Sampling area : Pulau Jawa

Lokasi penelitian : 48 rumah sakit, 186 sekolah dan perguruan tinggi, 12 tempat prostitusi

Jumlah responden : 1.258 orang

Instrumentasi polling : Kuisioner dengan open close wuestion

Margin of error : 4.5 %

Enter...

Enter...

Enter...

Profil pengidap HIV:

Enter...

Enter...

543. Agung, 3,5 tahun.

Balita malang ini adalah anak dari Yuli, seorang pembantu rumah tangga yag terjangkit virus HIV dari majikan yang pernah mengaulinya. Agung tertular virus ini dari darah ibunya.

544. Maya (nama samaran), 24 tahun

Maya terjangkit virus ini akibat kebiasaannya bergonta-ganti pasangan dalam menjalin hubungan pra-nikah. Diduga ia adalah seorang PSK (Pekerja Seks Komersial) di kawasan lokalisasi utama di Semarang. Tak terhitung berapa lelaki yang pernah menggaulinya. Bahkan, Elsa (4tahun), yang beberapa waktu lalu diketahui sebagai anak kandung Maya yang ia jual kepada seorang mafia, tidak tahu siapa ayah kandungnya.

545. Ari (nama samaran), 24 tahun

Konsumsi narkoba adalah penyebab utama mengapa ia dapat terjangkit virus HIV yang mematikan ini. Penggunaan jarum suntik yang saling bergantian merupakan hal biasa baginya bersama teman-temannya sesama pemakai. Hingga suatu saat, ia bergantian jarum suntik dengan salah satu temannya yang terindikasi mengidap virus HIV. tanpa menggunakan pengaman, ia tertular virus ini.

546. Denny (nama samaran), 19 tahun

Penyebab utama penularan virus HIV pada Denny adalah orientasi seksualnya yang menyimpang. Dia adalah seorang biseksual. Suatu saat ketika “bergaul” dengan pasangannya yang terindikasi sebagai pengidap HIV tanpa menggunakan pengaman, ia tertular virus ini.

547. Dita (nama samaran), 27 tahun

Dita terjangkit virus ini tanpa sengaja. Kejadian bermula ketika ia memotong rambut di salah satu salon di kawasan Tangerang. Pada saat itu si pegawai salon tak sengaja melukai tengkuknya dengan menggunakan silet cukur yang belum sempat disterilkan. Dita mengetahui bahwa dirinya terinfeksi virus HIV ketika ia yang juga relawan PMI melakukan donor darah di UTD sebuah kawasan di Jakarta Utara.

548. ......

Hff... Aku menghela napas panjang. Banyak sekali jumlah pengidap HIV di Indonesia. Sudah satu bulan aku mencari informasi tentang HIV di Indonesia untuk bahan artikel bulanan majalah “Bina Nurani”. Dalam waktu satu bulan ini, aku berhasil mengumpulkan sekitar 1.258 responden yang dapat ku wawancarai. Aku tak sanggup jika harus meneruskan penelitian ini hingga wilayah luar Jawa. Coba bayangkan, sekitar 12.000 pengidap HIV di Indonesia sudah dapat diidentifikasi (sumber:www.aids-indonesia.com). Itu baru yang sudah tercatat oleh Badan Peduli AIDS Nasional. Bagaimana yang belum terdentifikasi?? Lagi-lagi aku menghela napas. Hff... Kulirik arloji yang bertengger di tangan kiriku. Pukul 23.53. Masyaallah!!! Aku belum shalat Isya’!

***

Namaku Eriwibowo, namun aku tak ada sangkut pautnya dengan pesinetron besar Ariwibowo. Umurku masih tergolong muda, 23 tahun. Aku belum menikah dan belum ada pandangan untuk melangkah lebih lanjut, meski aku sudah siap jasmani maupun rohani. Bahkan, kata orang aku sudah jadi orang yang mapan. Namun, mau bagaimana lagi, aku sudah berusaha namun Allah belum mempertemukanku dengan tulang rusukku yang hilang. Aku adalah seorang WNI, benar-benar asli orang Indonesia. Aku terlahir dari rahim Kanjeng Ibu Rr. Ratri Suryaatmaja di Solo. Ayahku, Kanjeng Romo RM Ronggo Argyatmaja meninggal saat di Lampung karena kecelakaan kerja sepuluh tahun silam. Dua tahun kemudian, Kanjeng Ibu juga menyusul menghadap Allah. Masih begitu kecil untuk menjadi yatim piatu memang. Namun aku bersyukur, Kangmas Aryo masih ada untukku yang senantiasa menjadi orang tua kedua setelah Kanjeng Romo dan Kanjeng Ibu. Aku hijrah ke Semarang ketika aku harus melanjutkan kulih di kota lumpia ini. Hingga sekarang, setelah menjadi psikolog sukses dan menjadi staf redaksi majalah remaja “Bina Nurani”, aku masih tetap tinggal di Semarang. Seperti tak ingin ditinggal, setiap ada niatku untuk pulang ke Solo, pasti gayeng-nya kota Semarang dengan teman-teman karibku selalu membayangi pikiran ini. Mau tak mau, selalu ku urungkan niatku untuk beranjak dari kota Semarang.

***

Temanggung, 9 September 2009.

Melanjutkan pencarian data tentang pengidap virus HIV, berangkatlah aku ke kabupaten Temanggung, setelah melakukan penelitian di Magelang yang hasilnya cukup memprihatinkan. Aku berharap di Temanggung ini keprihatinan itu mulai berkurang.

Aku naik bus ekonomi jurusan Magelang –Wonosobo. Niat untuk membaur dengan masyarakat di bus ekonomi sepertinya gagal, malah aku menyesal mengapa harus naik bus ekonomi. Udara panas, asap rokok di sana-sini, suara dengkuran keras, ditambah sopir bus yang ugal-ugalan. Pengap!!! Sepertinya semua yang ada dalam perut ini ingin aku muntahkan.

Penderitaanku sedikit reda ketika sampai di terminal Temanggung. Segar udara Temanggung memanjakan paru-paruku. Tapi sebentar, dulu waktu kecil aku pernah diajak Romo ke rumah sepupunya di Temanggung. Dalam benakku, aku mengingat betapa segarnya udara Temanggung dulu, lebih segar daripada sekarang. Mungkin benar, aku pernah membaca sebuah artikel dari sebuah blog yang menginspirasiku untuk menulis. Dalam blog itu, Firdaus (mungkin nama pena), menerangkan betapa berubahnya Temanggung karena pemanasan global. Seperti slogan Temanggung, nama blog itu adalah bumi bersenyum. Aku sangat terinspisasi dengan tulisan-tulisan Firdaus. Walau ia adalah seorang anak SMA, namun bahan tulisannya sangat inspiratif.

“Mas...”

Aku tertegun dari lamunanku.

“Mas... Haus mas? Mau beli Aqua? Ini saya jualan Aqua,” seorang pedagang kecil menawariku sebotol air mineral.

“Oh... Eh, ya dik. Berapa harganya?”

“Dua ribu mas,” jawabnya.

Merasa iba, aku membeli sebotol air mineral dan berapa bungkus permen rasa buah. Ku rogoh saku celana katunku. Selembar uang lima puluh ribuan menyembul dari sakuku.

“Ini dik.”

“Uang kecil saja ada?”

“Sudah, kembaliannya disimpan saja.”

“Betul itu mas?” Terlihat raut gembira di rona wajahnya.

Ia tersenyum padaku.

“Terima kasih mas.”

Anak itu berlalu. Kemudian aku berjalan menuju pos ojek. Namun, tiba-tiba...

Brukk....

“Innalillah!”

Aku terjatuh, didorong oleh dua orang lelaki gondrong berkumis tebal. Segera saja mereka mengambil ranselku. Aku berusaha bangkit dan mengejar mereka. Tidak bisa. Kakiku terkilir. Buli-bulir peluh mulai membanjiri dahiku. Aku heran, mengapa di tengah banyaknya kerumunan orang tidak ada yang membantuku untuk mengejar jambret itu. Bahkan membantuku berdiri pun tidak. Aku tidak ingin buruk sangka. Namun dalam benakku tetap ada prasangka, apakah mereka semua bersekongkol? Ya Rabb, tolonglah aku...

***

Aku masih berusaha untuk berdiri. Tapi nihil. Aku hanya bisa merintih kesakitan. Mataku mulai berkunang-kunang. Aku tak tahan lagi dengan teriknya matahari di tengah jalan seperti ini. Seperti api yang melumat habis kayu, begitu pula kurasakan dari sinar yang dipancarkan oleh matahari. Benar-benar aku sekarang tidak tahan. Aku terjatuh lagi. Kepalaku sekarang sudah menyentuh aspal. Kesadaranku hilang. Kurasakan ada sesuatu dalam diri ini yang melayang. Apakah ini yang disebut pingsan?

***

“Mas, mas. Sadar mas...!” sebuah suara menyapaku.

Sentuhan-sentuhan kecil di bawah lubang hidungku membangunkanku dari pingsan. Bau minyak kayu putih menyadarkanku dari layangan-layangan yang membuat tubuhku terasa seperti bulu yang terbang oleh angin sepoi.

Namun kepalaku masih terasa sakit. Kucoba untuk bangkit, rasa di kepala ini terus mengamuk.

“Alhamdulillah, anda sudah sadar.”

“Dimana saya?” Aku masih merasa sakit itu kembali menyerang kepalaku.

“Sudah. Nanti saja saya ceritakan. Yang penting sekarang mas minum obat dulu dan istirahat.”

Ku turuti apa yang ia instruksikan. Ku teguk sebutir obat dengan air teh yang masih hangat-hangat kuku. Aku kembali mencoba untuk membuka mata. Ku picingkan mata kananku. Terlihat seorang pemuda, yang kupikir adalah seorang anak yang masihsekolah. Tapi hal itu tak berlangsung lama. Kepalaku kembali sakit. Aku sedikit mengerang dan kembali tak sadarkan diri.

***

Aku membuka mata. Rasa sakit yang tadi sempat mengganguku kini sudah berangsur menghilang. Badanku terasa lebih enak dan kakiku tak sakit lagi. Namun dalam benakku aku masih bertanya, siapakah gerangan orang yang menolongku hingga akku bisa terduduk di kamar yang cukup mewah ini?

Krekk...

Pintu kamar terbuka. Terlihat seorang pemuda jangkung, berwajah oval, berkulit kuning langsat, hidungnya mancung, dan ada sebuah kacamata minus bertengger di atas hidungnya. Wajahnya cukup menarik, mungkin, untuk wanita-wanita zaman sekarang. Aku yakin, umurnya masih muda, lebih muda dariku malah. Dan sepertinya ia masih duduk d bangku sekolah menengah atas. Sorot matanya yang tajam namun teduh itu adalah sesosok yang menurutku cukup bijaksana dalam menyikapi hidup.

Ia berjalan ke arahku, membawa nampan berisi semangkok bubur yang dari baunya aku yakin itu adalah bubur ayam, dengan segelas jus mangga kesukaanku.

“Wah ternyata mas sudah sadar ya? Bagaimana keadaanya?” sapanya kepadaku.

“Iya. Alhamdulillah. Terima kasih atas bantuannya ya!”

Ia tersenyum. “Ini saya bawakan bubur ayam dan jus mangga. Silahkan dimakan. Saya yakin perut mas belum terisi apa-apa sejak kejadian tadi di terminal.”

Aku menerima mangkok yang ia sodorkan padaku.

“Nama mas siapa?”tanyanya.

“Eri. Eriwibowo. Kalau adik siapa?”

“Saya Dhiaulhaq. Biasa dipanggil Haqi.”

“Terima kasih ya dik Haqi, sudah mau menolong saya!”

“Sama-sama mas. Ayo dimakan buburnya, nanti keburu dingin mas.”

Aku tersenyum sambil menyuapkan sesendok bubur ayam. Hmm.. Rasanya enak. Mengalahkan bubur ayam Pak Parto langgananku di Semarang.

“Nanti mas Eri menginap saja di sini. Baru besok pagi meneruskan perjalanan.”

Aku tersenyum kepadanya tanda setuju. Ku teruskan lagi melahap bubur ayam super itu. Hmm... benar-benar nikmat.

***

Pukul lima sore. Aku diajak Haqi duduk di tepi kolam renang di rumahnya.

“Ngomong-ngomong, mas Eri asalnya darimana?”

“Dari Semarang dik Haqi!”

“Kenapa bisa sampai ke Temanggung?”

Ku ceritakan panjang lebar mengapa aku bisa sampai ke Temanggung. Soal pekerjaan dan penelitianku. Dan tentu soal kekagumanku kepada seorang inspiratorku si Firdaus.

“Oh begitu!”,”Sepertinya saya punya sedikit data tentang penyebaran HIV di Temanggung. Coba tunggu sebentar, saya carikan.”

Haqi beranjak dari kursinya. Tak lebih dari lima menit, Haqi keluar dengan membawa beberapa lembar kertas di tangannya. Ia menyodorkan kertas itu padaku.

Aku menerimanya, dan segera ku baca. Wah ini sih datanya sangat komplit, batinku. Tapi, mataku terbelalak ketika melihat sebuah kalimat yang berbunyi

..... walaupun Temanggung adalah wilayah kabupaten, namun narkoba dan prostitusi telah menjamur di wilayah ini. Itulah yang menyebabkan Temanggung menjadi peringkat tiga wilayah yang memiliki pengidap HIV terbanyak se Jawa Tengah....

Aku tak menyangka, kabupaten seperti Temanggung? Masyaallah!! Ya Rabb, begitu parahkah generasi muda di Indonesia ini??

“Kaget mas?”

Aku berpaling pada Haqi. Aku mengangguk.

“Memang generasi muda sekarang sudah hancur. Padahal saya ingin kalau Indonesia itu dapat segera maju dan terentaskan dari masalah ekonomi dan sosial!”

Aku termangu. Apa bisa Indonesia maju dengan generasi muda yang sedemikian rusak ini?

Lama kami tak berbicara. Namun Haqi kini mengambil suara.

“Mas Eri, saya mau cerita boleh?”

“Boleh dik, mau cerita apa?” jawabku.

“Em.. tapi saya ragu mas.”

“Jangan ragu, ceritakan saja dengan mas.”

“Em... Sebenarnya ayah saya adalah seorang Atase Pendidikan dan Kebudayaan untuk Kedutaan Besar RI di Amerika. Ibu saya seorang dosen di Universitas Madison. Mereka berada di Amerika sekarang. Dan saya adalah salah satu ank yang bahasa gaulnya, broken home”,”dan mas Eri perlu tahu, bahwa saya.... Saya....” ucap Haqi ragu.

“Saya... saya.... adalah....”

Aku menunggu kata-kata yang terucap dari mulutnya dengan penuh penasaran.

“Saya... saya... saya adalah salah satu pengidap HIV di Temanggung.” Katanya dengan suara parau bernada duka yang tak tahu berapa oktaf rendahnya.

Bagai disambar petir, aku tak percaya dengan apa yang ia katakan. Aku ternganga. Lalu Haqi melanjutkan lagi ucapannya.

“Saya terkena HIV ketika saya mencoba bagaimana rasanya memakai narkoba. Baru satu kali pakai pete*, saya langsung terkena virus itu. Menyesal memang. Namun bagaimana lagi. Nasi telah menjadi bubur. Penyesalan tak dapat menyelesaikan masalah.” Matanya berkaca-kaca.

Aku kasihan dengannya. Anak sebaik dia terinfeksi virus HIV? Aku mendekatinya. Tanganku merangkul pundaknya. Aku mendekap tubuhnya. Kurasakan air mata itu jatuh di bahu kananku. Seperti seorang kakak, aku terus mendekapnya, seolah ingin berbagi duka dengannya.

“Sudah lah Haqi. Aku yakin Allah akan mengampuni dosa-dosamu.”

Haqi melepaskan dekapanku. Ia menatap wajahku. Kemudian mengusap air matanya dan tersenyum.

“Aku anak kuat kok. Walau tak ada orang tua, aku tetap akan berjuang untuk hidup. Mau bagaimana nanti nasib Indonesia kalau pemuda sepertiku tak bersemangat memajukan negara tercinta. Walau kata dokter umurku tinggal beberapa tahun lagi, namun aku akan terus berusaha untuk membuat hidupku lebih bermakna untuk agama dan megara tercinta!”

Aku tersenyum padanya. Kurasakan sorot matanya yang tajam menyiratkan semangatnya yang kian membara. Subhanallah!!! Ku rapal pujian untuk-Mu ya Rabb!!

***

Tiga hari kemudian. Aku sudah sampai Semarang. Duduk di depan meja komputer mengetik sesuatu.

1.258 Haqi, 17 tahun

Dari sekian ribu pengidap HIV yang telah penulis wawancarai, ia adalah anak muda yang paling semangat. Perilakunya sangat mencerminkan sebuah keimanan yang sangat kuat. Di sisa hidupnya yang di perkirakan hanya beberapa tahun saja, ia masih mempunyai semangat untuk mendedikasikan dirinya agar Indonesia bisa menjadi negara yang maju. Walaupun tergolong sebaga anak broken home, tak pernah sedikitpun ia menyerah untuk berjuang demi hidupnya yang masih sebentar itu. Menurutnya, sakit apapun ia, entah itu AIDS atupun sehat sekalipun, pasti kematian akan datang menjemput.

Oleh:Eriwibowo

Akhirnya setelah sekian lama melakukan penelitian, artikel yang ku buat telah selesai. Tiba-tiba aku teringat pada Haqi, pemuda yang menolongku kemarin dulu. Tanpa sadar ku buka Internet Explorer. Ku tulis pada dialog box­, tik... tik.... htp://bumibersenyum.blogspot.com/... enter... Ku baca tulisannya, dan pada halaman paling atas,

..... Terima kasih mas Eri, anda telah bersedia menjadi kakakku walau hanya untuk dua hari....

Masyaallah!!! Aku kaget. Apakah Firdaus adalah Haqi? Atau Haqi adalah Firdaus? Entah! Atau mungkin namanya adalah Dhiaulhaq Firdaus?

~(^^~)_(~^^)~

*) Pete: nama keren untuk putaw.


3 komentar Anda:

nur rahma said...

subhanallah... hahah.. baguuus... ehm, tp, afwan,ya..crt2 yg temanya kyk gtu kan dah biasa.. jd yah, ehm, maaf..kq ngga bgitu pnasaran (dah ktebak jln crta nya..) eh, afwan ya.. hehheee... tp dah bgus kq.. aq ja blm tntu bisa.. SeMANGAT yaaaah...,,,!!!!

munjani said...

krerennnnn dehhh!

Deslaknyo Wisnu Hanjagi said...

Ok.. kapan-kapan aku post lagi cerpen yang lain.... ada tema yang lain kok... hehe... jazakumulloh ya...

Post a Comment

Tinggalkan komenatar anda....

textarea

Followers


Related Posts with Thumbnails